202004.22
0
0

MUSYAWAROH ADALAH JALAN TERBAIK DALAM JEMAAH TABLIGH

MASALAH KEAMIRAN

Setiap pergerakan, pasti memiliki pemimpin. Dan setiap pergerakan memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam pemilihan pemimpinnya. Begitu juga dengan Jamaah dakwah dan Tabligh ini.

Secara sejarah, tidak pernah terjadi bahwa keamiran di dalam Jemaah Tabligh itu serta merta berdasarkan keturunan atau nasab. Hal ini dibuktikan dengan sejarah keamiran Jemaah Tabligh, bahwa menjelang wafatnya Maulana Muhammad Ilyas beliau sendiri mengusulkan orang lain sebagai amir penggantinya. Beliau tidak mengusulkan anaknya, Maulana Muhammad Yusuf sebagai Amir.
Begitu juga Maulana Muhammad Yusuf, tidak memutuskan anaknya, Maulana Harun sebagai Amir penggantinya.

Begitu juga Maulana In’amul Hassan tidak terus menunjuk anaknya, Maulana Zubair sebagai Amir penggantinya.

Hal ini sama sebagaimana para sahabat Khalifahur Rasyidin ;

di mana anak-anak Sayyidina Abu Bakar tidak otomatis menjadi khalifah setelahnya ;

anak-anak Sayyidina Umar juga tidak otomatis menjadi khalifah setelahnya ;

anak-anak Sayyidina Usman tidak automatik menjadi khalifah setelahnya;

bahkan anak-anak Sayyidina Ali tidak otomatis menjadi khalifah setelahnya.

Dan hal inilah yang menjadi ajaran sunnah dan syariah Islam.

Bukti yang terbesar dan terpenting dari semua proses kepemimpinan Jemaah Dakwah dan Tabligh adalah dengan melalui proses musyawaraoh para masyaikh dan tokoh-tokoh ulama yang terkait.

Terdapat bukti sejarah dan banyak saksi hidup yang menguatkan hal ini.

Adalah pasti, bahwa pemilihan Hadratji atau Amir dalam Jemaah Dakwah dan Tabligh sama sekali bukan berdasarkan keturunan dan nasab.

Ternyata pertimbangan nasab itu tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat mana pun.
Tetapi lebih kepada kekuatan ruhaniyah dan amalan, pengalaman dan pemahaman serta kebijaksanaan ketika mengambil keputusan.

Namun perkara yang paling utama dan yang terpenting adalah berdasarkan musyawaroh. Walaupun sudah ada calon yg sesuai sebagai Amir, namun tetap proses musyawaroh sebagai asas dari ijtimaiyyat tetap dilaksanakan. Sekecil dan seringan apa pun masalah yang terjadi, semua diselesaikan dengan cara musyawaroh.

Adakah cara yang lebih berkat daripada musyawaroh dalam menentukan keputusan?

Semua masyaikh menerima hasil keputusan musyawaroh dan berpegang atasnya, walaupun putusannya berlawanan dan tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Contoh sejarahnya adalah;
Maulana Abul Hasan Ali Nadwi dan beberapa masyaikh lainnya, lebih memandang bahwa Maulana Zakaria lah yang paling layak sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas, tetapi beliau sangat menerima dan berlapang hati atas keputusan musyawaroh ketika penggantinya adalah Maulana Muhammad Yusuf.

Dan begitu pula Maulana Harun, beliau sangat menerima dan berlapang hati ketika beliau tidak terpilih menjadi Hadratji dan pilihan jatuh kepada Maulana In’amul Hasan.

Bahkan Maulana Harun bin Yusuf memberi bayan yang sungguh hebat, mengajak para pencintanya (mayoritasnya orang-orang Mewat) yang mendorongnya untuk menjadi amir, agar berlapang dada dan menta’ati keputusan musyawaroh.

Atas dasar itu semua, khusus dalam masalah keamiran, maka siapakah yang telah memutuskan keamiran Maulana Saad di saat ini ?

Kapan terjadi musyawarohnya?

Dimana tempat musyawarohnya ?

Siapa ahli syuronya yang hadir?

Siapa faisalahnya?

Adakah mengikrarkan diri menjadi amir tanpa musyawaroh adalah adab dan ajaran dalam Islam (Jemaah Tabligh)?

Adakah keamiran otomatis dalam Islam?

Bagaimana hukum berniat menjadi Amir/pemimpin yang dicela oleh Nabi saw.?

Apakah kerja dakwah ini adalah milik warisan keluarga? Atau milik Allah ta’ala?

Di antara masyaikh syura Alami sama sekali tiada keinginan sedikitpun untuk menjadi Amir, namun yang dikehendaki adalah keamiran yang memenuhi syariat, syarat dan melalui musyawaroh.

Adapun dalil-dalil tentang musyawaroh adalah :

  1. Artinya : “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya” [Ali-Imran/3 : 159]
  2. Artinya : “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” [Asy-Syuura/42 : 38]

Definisi Asy-Syuura (Musyawarah) Asy-Syuura adalah penyampaian pendapat ahli ilmu untuk mencapai perkara yang lebih mendekati kepada kebenaran, dan hal yang dimusyawarahkan adalah perkara yang tidak terdapat keterangan tentangnya dari Allah (Al-Qur’an) dan dari RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Hadits). Dalil-Dalil Asy-Syuura. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merealisasikan musyawarah ini sebagai pengajaran bagi umatnya, dan sebagai peletakkan dasar pada mabda (pondasi) ini, serta sebagai pengantar terhadap sunnahnya bermusyawarah diantara umat. Dan telah disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih musyawarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat-sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak perkara, kami sebutkan diantaranya. 1. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari peperangan Badar) untuk bepergian menjumpai rombongan orang musyrik yang membawa barang-barang dagangan. 2. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau juga untuk menentukan posisi mereka (dalam perang Badar) hingga Al-Mundzir bin Amru memberi isyarat untuk maju di depan kaum. 3. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari peperangan Uhud) apakah kaum musimin menanti musuh di Madinah atau keluar dari kota Madinah untuk menyongsong musuh, maka sebagian besar sahabat berpendapat untuk menyongsong musuh di luar kota Madinah, maka keluarlah mereka menyongsong musuh di luar Madinah. 4. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari peperangan Khondak) untuk berdamai dengan pasukan musyrikin yang bergabung menyerang kaum muslimin dengan memberikan sepertiga buah-buahan di kota Madinah pada tahun itu juga, maka dua orang sahabat Nabi yaitu Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah menolak hal ini, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak melakukan perdamaian itu. 5. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari perjanjian Hudaibiyyah) untuk menawan anak-anak kaum musyrikin, maka berkatalah Abu Bakar As-Shiddiq kepada beliau : “Sesungguhnya kita tidak datang untuk memerangi seorangpun, dan kita datang hanya untuk ber-umrah”. Maka Nabi pun menerima pendapat itu. 6. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar dan Umar bin Khatthab : “Seandainya kalian bersepakat dalam suatu urusan niscaya aku tidak akan menyelesihi kalian berdua”. 7. Abu Hurairah berkata : “Tidaklah aku melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan musyawarah pun juga terjadi diantara sahabat-sahabat Nabi, diantaranya perkataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu : “Al-Khilafah adalah musyawarah diantara enam sahabat nabi yang mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan meridhai mereka’.

Ahli Syuuro (Para Ahli Yang Diminta Pendapat Mereka Untuk Bermusyawarah) Ahli syuura adalah “Ahlul halli wal aqdi” (mereka yang ahli dalam menyelesaikan permasalahan) atau orang-orang yang dipilih oleh Waliyul Amri (Kepala Negara) untuk bermusyawarah, ini secara umum, dan diantara mereka adalah :

  1. Pemuka masyarakat yang mempunyai kedudukan, yang mana mereka dipercaya dalam keilmuan mereka dan pendapat-pendapat mereka, dari kelompok yang terbesar, dan dari kalangan ahli ilmu dan ahli politik syar’iyyah (politik yang sesuai dengna syari’at agama Islam), ahli dalam pemerintahan dan harta, yang mana mereka berkhidmat untuk masyarakat, mereka yang mempunyai pandangan yang tajam dan firasat yang benar. 2. Para ulama ahli fikih terkemuka yang memiliki kemampuan untuk menetapkan hukum-hukum pada suatu keadaan dan sesuai dengan dasar-dasar umum ajaran Islam, dan mereka berdiri diatas ruh syariat Islamdan jalan-jalannya. Orang-orang yang terpercaya, ahli Al-Qur’an (ahli tentang kandungan dan maknanya) mereka itulah ulama. Bahkan Bukhari : “Adalah pemimpin-pemimpin sesudah Nabi, mereka bermusyawarah dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan ahli ilmu dalam perkara-perkara yang mubah (diperbolehkan) agar mereka dapat mengambil hal yang paling mudah, maka jika Al-Qur’an dan Sunnah sudah jelas, mereka tidak akan melampaui kepada hal lainnya, karena mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahli Al-Qur’an (dari kalangan) para sahabat Nabi adalah orang-orang yang dijadikan ahli musyawarah oleh Umar bin Khatthab, baik mereka itu sudah lanjut usia maupun masih muda. Dan adalah Umar bin Khatthab orang yang selalu berhenti untuk mentaati (hukum-hukum) Al-Qur’an. Merupakan sesuatu yang sudah diketahui bersama, bahwa para penasehat (ahli musyawarah) akan dihisab (dimintai pertanggungan jawab) didepan Allah dan manusia, dalam pendapat-pendapat yang dikemukakan mereka. Oleh karena itu orang-orang yang amanahlah (berlaku amanat) yang dimintai pendapat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Penasehat (orang yang dimintai pendapat) adalah orang yang amanah (dipercaya)” [Hadits shahih riwayat Tirmidzi no. 2823, lihat shahih sunan Tirmidzi karya syaikh Al-Albani] “Dipercaya dalam menetapkan hal-hal yang baik bagi manusia, dan orang-orang yang menjaga terhadap agama mereka” 3. Ahli hukum agama yang terkemuka, yang memiliki pengetahuan dalam kehidupan dan manusia, dan mereka mengarahkan untuk menyelesaikan problematika umat dengan hikmah dan teliti dalam naungan Al-Qur’an dan Sunnah, dan fikih para Salafush Shalih. 4. Para spesialis dalam pengetahuan tentang manusia, negeri-negeri, yang mana mereka membaca sejarah kuno dan kontemporer, dan mereka mengetahui manusia dengan perbedaan tingkatan-tingkatan dan agama mereka, dan mereka mengerti tentang negara-negara dan tabiat-tabiatnya.

UNOFFICIAL  TRANSLATION :

THE PROBLEM IS BEING AN AAMEER WITHOUT MUSYAWAROH

Every movement, must have a leader. And each movement has a different tradition in the selection of its leaders. Likewise with the Jamaah of Da’wah and Tabligh.

Historically, it has never happened within Jemaah Tabligh that appointment of Aameer was necessarily based on descent or nasab. This is proven by the history of the Jemaah Tabligh, that before the death of Maulana Muhammad Ilyas he himself proposed another person as his successor being Aameer. He did not propose his son, Maulana Muhammad Yusuf as autometically Aameer.
Likewise Maulana Muhammad Yusuf, did not decide his son, Maulana Harun as his successor Aameer.

Likewise Maulana In’amul Hassan did not continue to appoint his son, Maulana Zubair as his successor Aameer.

This is the same as the friends of Khalifahur Rasyidin;

where Sayyidina Abu Bakr’s sons did not automatically become caliph afterwards;

Sayyidina Umar’s children also did not automatically become caliph afterwards;

Sayyidina Usman’s sons did not automatically become caliphs afterwards;

Even Sayyidina Ali’s children did not automatically become caliph afterwards.

And this is the teaching of the sunnah and Islamic sharia.

The greatest and most important evidence of all the process of leadership of the Jemaah Tabligh is through the process of consulting (musyawaroh) among the scholars and related scholars.

There is historical evidence and many living witnesses confirm this.

It is certain, that the election of Hadratji or Aameer in the Tabernacle and Tabligh is not based on lineage.

It turns out that the judgment of the lineage was never exemplified by any of his friends.
But it is more about spiritual strength and practice, experience and understanding and wisdom when making decisions.

But the most important and most important thing is that it is based on mediation (musyawaroh). Although there is a suitable candidate for being an Aameer, the process of mediation (musyawaroh) as the basis for ijtimaiyyat is still implemented. No matter how small the problems may be, they are resolved in a deliberate way (musyawaroh).

Is there a better way of blessing the decision-making process ?

All the Muslims accept the results of the arbitrary decision  (musyawaroh) and hold on to it, even though the verdict is contrary to their desires.

Examples of its history are;
Maulana Abul Hasan Ali Nadwi and a number of other scholars also thought that Maulana Zakaria was the most suitable successor to Maulana Muhammad Ilyas, but she was very accepting and courageous in their decision when her successor was Maulana Muhammad Yusuf.

And so did Maulana Harun, who was very accepting and courageous when she was not selected as Hadratji and the choice fell to Maulana In’amul Hasan.

Even Maulana Harun bin Yusuf gave a great town, inviting his lovers (the majority of the Mewat) who encouraged him to become an Aameer, to be brave and to obey the decision of the mediator.

On the basis of all this, especially in matters of conscience, then who has decided on Maulana Saad’s integrity at this time?

When did musyawaroh take place?

Where was the place of musyawaroh ?

Who were shuros present?

Who’s the culprit (faisalah)?

Is a declaration to become self-Aameer without musyawaroh is in line with manners and Islamic teachings (Jemaah Tabligh) ?

Is there an autometic selection system to become an Aameer  in Islam?

How does the Islamic law intend to be an Aameer / leader who is criticized by the Prophet?

Does this missionary work belong to family inheritance? Or belongs to Allah ta’ala ?

Among the shura’s scholars there is absolutely no desire at all to become an Aameer, but what is desired is the selection of Aameer that fulfills the Shari’a, the terms and through consensus (musyawaroh).

As for the details about the mediation are:
1. It means: “And consult with them in this matter, and when you have made a will, trust in Allah. Surely Allah loves those who trust in Him ”[Ali-Imran / 3: 159]

2. Meaning: “While they are engaged (in decision) with the deliberations between them” [Ash-syura / 42: 38]

Asy-Syuura Definition (Asylum) Asy-Syuura is the mediation of scholarly opinions to reach something closer to the truth, and what is being consulted is something that has no evidence of it from Allah (the Qur’an) and His Prophet Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Hadith). The Sy -ura Syllabus. Indeed, the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam has realized this deliberation as a lesson for his people, and as a foundation for this (pbuh) foundation, as well as an introduction to his solemn sunnah among the people. And it has been mentioned in the hadiths that the consensus of the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam with his companions sallallaahu’ alaihi wa sallam in many respects, we mention among them. 1. The Prophet Muhammad (sallallaahu ‘alayhi wa sallam) consulted with his companion (on the day of the battle of Badr) to travel to meet a group of muslims carrying merchandise. 2. The deliberations of the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam with his companions also determine their position (in the battle of Badr) until Al-Mundzir bin Amru gives the signal for advancement of the people. 3. The deliberations of the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam with his companions (on the day of the battle of Uhud) whether the Muslims were waiting for an enemy in Medina or out of the city of Medina to meet the enemy, then most of the companions thought to meet the enemy outside the city of Medina, 4. The Messenger of Allah’s Messenger (may peace be upon him) alaihi wa sallam with his companion (on the day of the battle of Khondak) to reconcile with the muslimikin forces who joined the Muslims by giving a third of the fruit in the city of Medina that year, then two of the Prophet’s companions Sa ‘ ad bin Muadz and Sa’ad bin Ubadah rejected this, so the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam did not make peace. 5. The Messenger of Allah’s Messenger (may peace be upon him) waved with his companion (on the day of the Hudaibiyyah treaty) to capture the children of the Muslims, then Abu Bakr As-Shiddiq said to him: “Indeed we did not come to fight anyone, and we came to in the middle. ” So the Prophet accepted that opinion. 6. The Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam said to Abu Bakr and Umar bin Khatthab: “If you had agreed on a deal I would not have solved the two of you”. 7. Abu Hurairah said: “I do not see anyone more consulting with his companions than the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam. And the deliberations also occur among the companions of the Prophet, among them the words of Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu: “The Al-Khilafah is a deliberation among the six companions of the Prophet in which the Prophet sallallaahu’ alaihi wa sallam died, while he was sallallaahu ‘alaihi wa sallam them ‘.

Syuuro Members (Members Asked for Their Opinions to Consult) Syuura members are “Ahlul halli wal aqdi” (people who are experts in solving problems) or those chosen by Waliyul Amri (Head of State) to consult, this in general, and among them are:

1. Positive community leaders, whom they trust in their knowledge and their opinions, from the largest group, and from Shari’yah scholars and politicians (politics in accordance with Shariah religion), experts in government and property, where they serve the community, those who have a keen eye and a true conscience. 2. The leading scholars of jurisprudence who have the ability to set laws in a state that conforms to the general principles of Islamic teaching, and who stand in the spirit of Islamic law and its streets. Believers, the Qur’anic scholars (content experts and their meanings) are scholars. Even Bukhari: “It is the leaders after the Prophet, they consult with the most trusted of the scholars in matters that change (allow) so that they can take the simplest, then if the Qur’an and Sunnah of course, they will not go beyond anything else, for imitating the Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam. The Qur’anic (from among) the companions of the Prophet are the people whom Umar bin Khatthab made a consultant, whether they were old or young. And it is Umar bin Khatthab who always stopped to obey the Qur’an. It is something that is already known, that the counselors (consultants) will be subjected to (in the sense of responsibility) before God and man, in their opinions. Therefore it is the people who trust (in trust) who are asked for an opinion. The Prophet sallallaahu ‘alaihi wa sallam said. “Advisers (people who are asked for opinions) are trustworthy (trustworthy)” [Hadith shahih history Tirmidzi no. 2823, see shahih sunan Tirmidzi by Al-Albani Shaykh]] “Believed in setting things right for men, and those who guard against their religion.” and they sought to solve the problematics of the people with wisdom and thoroughness under the auspices of the Qur’an and the Sunnah, and the devotion of the Salafush Shalihas. 4. Specialists in the knowledge of human beings, of the countries, in which they read ancient and contemporary history, and they know the people by the differences of their degrees and religions, and they are acquainted with the nations and their habits.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *